
Ngomongin soal sate, paling pas rasanya kalau berkunjung langsung ke pusatnya sate kota Yogyakarta tercintah.. yaitu Imogiri. Di sepanjang jalan Imogiri Timur berjejer-jejer puluhan warung sate kambing yang lokasinya saling berdekatan. Kebanyakan warung-warung tersebut berpenampilan sederhana, bahkan terkesan kotor. Kami pernah makan disalah satu warung tersebut dan kebingungan saat si denok kebelet pup sementara warung itu tak menyediakan kamar kecil. Terpaksa jalan kaki menggendongnya sambil tolah toleh rumah tetangga minta ijin nebeng ke toiletnya. Mengingat pengalaman (pahit) itu, kali ini kamipun mencari warung sate yang paling ramai yang pasti menyediakan toilet untuk pengunjungnya. Tak lain dan tak bukan Sate Pak Pong yang akhirnya menjadi tujuan perjalanan.
Sate Pak Pong terletak di Jalan Stadion Sultan Agung (Jl Imogiri Timur Km 7) Wonokromo Bantul Yogyakarta. Meskipun terletak diluar kota tetapi cukup mudah dicari. Dari Ring Road Selatan lokasi Terminal Bus AKAP Giwangan ambil arah lurus ke selatan hingga km 10, nanti ketemu pertigaan belok saja ke kanan sekitar 500 meter. Akan terlihat kelap kelip kuning lampu penunjuk arah dan beberapa petugas security berseragam siap mengamankan kendaraan. Posisi warung ada di sebelah kanan jalan, namun areal di seberang juga sudah dibangun menjadi parkiran dan ruang duduk tamu lengkap dengan ayunan anak di halaman depan. Semenjak berpartisipasi dalam event kuliner Festival Jajajan Bango di Yogyakarta beberapa bulan yang lalu, pengunjungnya semakin membludak saja. Buka setiap hari mulai jam 10 pagi hingga tengah malam.
Beberapa waktu lalu kami pernah datang kemari namun urung untuk memesan karena harus menunggu antrian selama 1.5 jam! Berkaca dari pengalaman, yang harus dilakukan pertama kali adalah mencari tempat duduk dulu dan sebutkan nomor meja di counter pemesanan. Jangan lupa tanyakan pula berapa lama harus menunggu pesanan. Menurut saya ini penting karena perut saya termasuk jenis yang kurang sabar jika harus menahan lapar. Mana tahan jika harus menunggu sambil membaui aroma makanan yang sedang dibakar. Untunglah kali ini tak terlalu banyak antrian, jadi 10 menit yang dijanjikan saya gunakan untuk menemani di denok bermain ayunan.
Warung Sate Pak Pong menghuni areal yang lumayan luas, memakai 2 lahan di utara dan selatan jalan. Fasilitasnya cukup lengkap, ada lesehan ada pula meja-meja besar. Toilet, musholla bahkan arena bermain anakpun turut disediakan. Bagian depan dipergunakan untuk memotong daging dan memasak makanan. Setumpuk arang kayu menunggu dipojokan siap untuk dipergunakan. Masuk ke dalam warung utama, ada counter pemesanan di sebelah kanan bersebelahan dengan kasir terpisah jarak selebar gang. Meja dan kursi serta lesehan menyebar hingga jauh ke bagian dalam. Beberapa selebritis pernah datang dan meninggalkan kenangan berupa foto mereka yang kemudian dipajang di dinding seputar ruangan. Sore itu bahkan Wulan Guritno melintas di depan meja kami bersama para pengiring dan dayang-dayang.
Sate Pak Pong menyediakan bermacam hidangan berbahan dasar daging kambing. Tak sembarang kambing yang dipakai melainkan daging kambing yang masih muda. Dagingnya yang masih lunak kemudian diolah menjadi sate, gule, tongseng, kicik, dan tengkleng. Ada dua macam sate yang disediakan, sate kecap manis dan sate klathak. Bedanya apa? Ya tentu saja bumbunya.. Sate kecap manis adalah sate konvensional yang mudah ditemukan di pasaran. Daging kambing yang sudah dibumbui akan dibakar lalu disajikan dengan irisan kol, bawang merah dan kecap manis tentunya. Sedangkan sate klathak adalah jenis sate yang berbumbu minimalis. Hanya menggunakan sedikit garam dan (mungkin sedikit) kemiri yang dibalurkan ke daging sebelum dibakar. Disajikan tanpa sayuran tapi memakai kuah. Semua makanan yang dimasak di sini menggunakan anglo dari tanah liat dan bara arang kayu yang membara. Aromanya.. duuuh.. luarbiasa menggoda.
Kami memesan 2 porsi sate klathak dan sepiring gule babat. Sebagai mahluk omnivora pemakan daging, saya pilih sate klathak karena ingin menikmati keaslian rasa daging kambing muda. Jika daging yang dijual benar-benar pilihan dan segar, maka rasa satenya pasti enak, bukan karena bumbu yang menjadikan dagingnya enak. Seusai dibakar beberapa lama, sate disajikan diatas piring berikut tusukan satenya. Seporsi sate hanya berisi 2 tusuk saja meski demikian potongan dagingnya sungguh 'dewasa' :D. Tusuk satenya juga istimewa. Perhatikan saja ujung besi yang menempel pada foto sate saya. Tahukah anda bahwa itu adalah ujung dari besi jeruji roda sepeda? Bagi yang belum terbiasa makan sate klathak, silahkan coba kuah yang turut disertakan bersama satenya. Tapi bagi saya pribadi, demi untuk menikmati rasa khasnya, cukup dengan nasi putih saja tanpa kecap atau kuahnya. Kombinasi daging kambing muda, bumbu yang sederhana dan penggunaan arang kayu membara menciptakan rasa sate klathak yang khas, yaitu asin dan gurih.
Untuk membuktikan bahwa daging kambingnya memang pilihan, saya ujicoba sepotong sate ke denok kecil saya. Dia balita yang lebih suka makan sayuran daripada daging. Meski masih tetap belum bisa menelan kunyahan daging tapi juga tidak dimuntahkan. Malahan berkomentar 'enak ma, tapi aku gak suka". Memang dagingnya empuk dan gurih tanpa bau amis kambing seperti sate pada umumnya. Harga sate per porsi 19 ribu, dijamin tidak akan menyesal menikmatinya.
Sepiring gule yang kami pesan berisi bagian jeroan, babat handuk dan usus dan paru. Jeroannya melimpah dan lunak. Menghemat energi saat mengunyah tanpa banyak susah payah. Sayang rasa kuahnya masih belum memuaskan, kurang rempah dan santannya terlalu encer. Kuah gulai ini berbeda dengan kuah di piring sate. Kuah gulai masih lebih terasa berbumbu sedangkan kuah sate lebih bening dan rasanya light. Dengan harga 14 ribu per porsi, gulai ini masih terhitung murah ukuran Jogja.
Tak kalah menarik adalah penyajian minumannya. Pesanan jeruk panas disajikan lengkap dengan refillnya. Gula yang dipakai juga gula batu kuning yang harganya lebih mahal dari gula batu putih. Dengan harga 3 ribu per gelas, tentu masih terhitung murah mengingat banyak plus plus nya
Ah sudahlah, semakin banyak huruf dan kata yang saya tulis, semakin jelas kenangan bentuk dan rasa dan aromanya di benak saya. Lagi-lagi perut sayapun menjadi lapar kembali...
Ah sudahlah, semakin banyak huruf dan kata yang saya tulis, semakin jelas kenangan bentuk dan rasa dan aromanya di benak saya. Lagi-lagi perut sayapun menjadi lapar kembali...
No comments:
Post a Comment