Usai membereskan laundry, seperti biasa kami mulai berkeliling mencari makan malam. Tujuan utama sih mau makan sayur, setidaknya cah kangkung yang biasanya selalu hadir dalam daftar menu tempat-tempat makan. Akhirnya tak jauh dari rumah, tepatnya di Jalan DI Panjaitan persis di seberang GBI Ngadinegaran, ada tempat makan sederhana dengan plang ukuran besar bertuliskan Kedai Kanjeng Mami. Kedai ini menempati teras dan halaman sebuah rumah tua yang dihuni seorang eyang. Meskipun rumah tua tapi tergolong berada untuk ukuran jaman dulu. Berdinding batu, luas, dengan kotak pendingin udara model jaman dulu, dan hanya seratusan meter jauhnya dengan salah satu icon Jogja, Plengkung Gading. Sang nenek pemilik rumah kebetulan pas keluar dari dalam rumah untuk menyalakan lampu teras.
Sore itu suasana masih sepi. Seorang waiter sedang menyapu. Temannya sedang duduk di meja kasir. Sedikit ragu namun saya memutuskan untuk turun dan meminjam daftar menu. Well, benar dugaan saya ada ca kangkung di dalam daftar menu. Kami memilih duduk di luar, berpayung tenda besar dan berkursi kayu. Angin berhembus sejuk. Jalan raya hanya berjarak 5 meter dari tempat kami duduk, tapi deru suaranya sama sekali tidak mengganggu pendengaran. Sepertinya nyaman sekali tinggal diarea ini.
Daftar menu kami buka dan sayapun langsung memesan ca kangkung. Sayang sekali, ternyata tidak tersedia meskipun tercantum dalam daftar menu. Agak kecewa, saya berganti memilih roti bakar coklat keju serta ayam bakar dan paketan ikan nila goreng. Paketan ikan nila goreng seharga 18 ribu sudah termasuk nasi dan teh manis panas. Suami saya memesan teh tarik panas berharga 8 ribu. Di daftar menu tertulis es nata de coco dan kalajer. Dari penjelasan waitress, kalajer itu adalah kombinasi kelapa, jeruk dan jelly. Terdengar segar untuk diminum sore-sore begini. Akhirnya si denok saya arahkan untuk memilih kalajer tanpa es seharga 10 ribu rupiah.
Barangkali karena baru saja buka, pelayanannya agak lama. Waitress dan waiter bergantian pergi naik motor dan kembali sambil membawa gas melon dan beberapa benda lain di swalayan Maga yang berlokasi di sudut jalan. Lama menunggu akhirnya roti bakar diantarkan. Penampilannya sangat jauh menyimpang dari gambar yang terpampang. Okelah, biasanya memang gambar tampil lebih cantik dari kenyataannya, yang penting si denok suka dan mau menghabiskan setangkup roti bakar coklat keju tersebut. Menyusul minuman kami juga diantarkan. Teh tarik rasanya terlalu manis dan beraroma amis dari susu kental manis putih. Melihat gelas besar warna kekuningan di atas meja membuat saya memanggil waitress, bertanya apakah saya salah menulis pesanan. Tadi saya memesan Kalajer tapi yang saya dapat adalah segelas besar air berisi potongan nanas dan nata de coco. Berdasar penjelasan mbak waitress, ternyata kelapa dalam kalajer maksudnya adalah nata de coco, bukan kelapa muda yang dikerok, kemudian airnya diberi perasan air jeruk. Lalu, apa bedanya kalajer dengan menu es Nata de Coco? Haduh, rupanya bukan hanya gambar yang menipu mata saya, bahkan pendengaran saya juga tertipu sore itu.
Makanan saya datang, sepiring nasi beserta tahu dan tempe goreng tepung. Ikan Nila goreng disajikan dalam piring yang terpisah berikut sambal dan potongan ketimun. Semua rasanya cenderung asin, tapi buat saya yang lagi lapar malah terasa nglawuhi. Beda halnya dengan ayam bakar pesanan suami. Meskipun ukuran ayamnya cukup besar, namun bau penguk. Berhubung suami saya kehilangan selera makan, akhirnya kucing piaraan pemilik rumahlah yang senang dan kenyang makan ayam.
Di meja tersaji tumpukan snack dalam bungkusan plastik, diameternya mirip spaghetti angel hair tapi ukurannya lebih pendek. Kata waitress, itu namanya mie lidi, rasanya gurih dan pedas. Saya mencoba 1 batang, dan sisanya tak saya sentuh lagi. Di mulut saya rasanya seperti makan mie mentah bertabur cabe bubuk.
Duuh.. naga-naganya Kedai Kanjeng Mami bakalan termasuk salah satu tempat yang tidak akan kami datangi kembali.
No comments:
Post a Comment