Thursday, November 26, 2015

GALABO, kulineran di Kota Solo




Jogja Jajan kali ini akan bercerita tentang makanan yang berlokasi di luar kota Jogja, tepatnya di kota Surakarta Hadiningrat atau kota Solo di Jawa Tengah.

Sudah beberapa kali ini si denok merengek minta tidur di hotel tiap kali kami melintasi bangunan hotel yang semakin menjamur di Jogja. Entah excitement apa yang ingin dia rasakan, barangkali dia lupa bahwa setiap malam kami sudah tidur di bangunan ex-hotel. Rumah yang kami tempati ini pada awalnya adalah boutique hotel meski hanya berkelas melati, namun sejak beberapa tahun yang lalu sudah kami alih fungsikan menjadi kost putri. Pikir-pikir tak ada salahnya menuruti keinginannya toh kami semua juga rindu untuk escape sejenak dari rutinintas harian.
Akhirnya kami memutuskan untuk alihan turu di kota Solo, sebuah kota yang hanya berjarak 60 kilo jauhnya dari sini. Kami menginap di daerah Purwosari, namanya Grand Sae. Sebagai budget hotel dengan rate 200 ribuan per malam, Grand Sae cukup memuaskan. Selain dekat dengan pusat kota, hotel ini menyediakan indoor pool dengan air arus meski ukuran kolam renangnya tergolong mini. Ada juga kolam untuk anak-anak tapi suhu airnya lebih dingin daripada kolam dewasa. Usai check in, kamipun meluncur mencari makan malam. Galabo mejadi tujuan utama malam minggu ini.

Galabo merupakan singkatan dari Gladag Langen Bogan. Gladag itu adalah nama kawasan di kota Solo. Langen artinya kesayangan atau favorit. Bogan artinya masakan. Jika saya terjemahkan bebas artinya kurang lebih tempat makan favorit yang terletak di daerah Gladag. Menempati ruas jalan Mayor Sunaryo, persis di depan Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Jika siang hari, ruas jalan ini tetap berfungsi sebagai jalan raya, namun setelah pukul 6 sore akan ditutup dan dijadikan pusat kuliner.
 
Sore itu kami datang sekitar pukul 18.30, namun suasana masih sangat sepi padahal ini malam Minggu. Begitu menginjak jam 19.00 barulah para pengunjung mulai membanjiri tempat ini. Para pedagang berjejer di trotoar menggunakan gerobak yang bentuknya seragam, sedangkan area duduk para pembeli terletak persis di tengah-tengah jalan menggunakan meja dan kursi yang juga seragam coraknya. Jika menghendaki lesehan, tikar akan digelar di seberang, dekat dengan rel kereta api. Sekilas tempat ini mengingatkan saya akan Pasar Semawis di kota Semarang. Hanya saja jenis makanan yang di Semawis kebanyakan olahan daging babi dan mereka tidak menggelar tikar untuk lesehan.

Sebagai wisata kuliner, Galabo menyediakan banyak pilihan makanan. Hampir semuanya makanan khas kota Solo, misal Nasi Liwet, Rica-Rica, Tengkleng, Cabuk Rambak, Pecel Lele, Sate Kambing dan lain sebagainya yang tak dapat saya ingat lagi saking banyaknya. Dengar-dengar besan pak Jokowi juga mempunyai outlet di Galabo, lalu saya tanyakan ke pedagang disana. Sayang sekali masakan yang dijual pak besan presiden masih belum begitu sreg dengan selera saya kali ini jadi kami tidak mencobanya. Menu yang tertera di gerobak pak besan hampir semuanya sambal dan belut, antara lain sambel welut dan sambel wader.
Akhirnya kami memutuskan untuk duduk di bagian tengah ruas jalan, tak jauh dari penyanyi live music. Lagu yang dimainkan mayoritas mellow ala Koes Plus dan Ebiet. Sambil menikmati suara merdu sang pengamen jalanan, kamipun lahap menyantap makanan yang kami pesan. Nasi Liwet khas Solo yang gurih. Rica-rica enthog yang spicy namun nikmat disantap. Cabuk rambak yang mengingatkan jajanan jaman saya masih sekolah disini. Tengkleng kambing yang porsinya sungguh besar sekali. Semua kami nikmati dalam terang lampu jalanan sambil duduk di tengah ruas jalan raya beneran! Tak terbayangkan bagaimana hebohnya para pembeli jika mendadak turun hujan, pasti bubar semua deh keramaian.

Tengkleng yang kami pesan berasal dari gerobak sate kambing Petir seharga 22 ribu sudah termasuk nasi putih. Tengkleng merupakan makanan khas Solo, semacam sop berkuah yang terdiri dari tulang-tulang kambing plus sedikit daging yang melekat pada tulang tersebut. Rasanya pedas dan bau kambingnya sudah tidak tercium lagi.  Konon kabarnya tengkleng adalah makanan rakyat jelata di abad 19. Kala itu rakyat hanya mendapat jatah sisa karena bagian yang terbaik dipersembahkan bagi para bangsawan. Hebatnya, kaum jelata ini mampu meracik bahan sisa tadi dengan bumbu yang pas sehingga terciptalah tengkleng yang kita kenal saat ini. Berhubung tangan kami belepotan, tengkleng ini tak sempat kami abadikan.


Makanan lain yang kami pesan adalah Rica-Rica Enthog. Enthog itu serupa itik manila. Seporsi hanya 11 ribu saja berisi 4 potong paha enthog yang berdaging tebal. Bumbu rica-nya berbeda dengan bumbu rica masakan Jogja. Yang bisa saya sampaikan cuma rica Enthog Galabo ini rasanya enak sekali. Harganya pun tergolong murah mengingat porsinya yang lumayan besar.





Tak lengkap jika tidak memesan Nasi Liwet khas Solo. Menu ini kami pesan dari gerobaknya Yu Temu. Disajikan dalam pincuk atau daun pisang. Kualitas daun yang dipakai cukup bagus, hijau mengkilat, tebal dan bersih. Seporsi nasi liwet dan kerupuk karak/gendar yang dihidangkan bersama sayap ayam kampung dan semangkok sayur dibanderol dengan harga 13 ribu rupiah saja. Jika ingin nasi liwet dengan ayam suwiran, maka cukup membayar 8 ribu rupiah. Semua masakan yang kami cicipi hampir semuanya berbeda rasanya dengan citarasa Jogja, bahkan rasa nasi gurihnya juga berbeda. Nasi liwet yang gurih ini masih diberi sesendok areh/santan kental yang semakin menambah gurih. Beda halnya dengan sayur labu siam yang menjadi teman makan nasi liwet. Jika dimakan terpisah, kuah sayurnya malah minim rasa. Barangkali memang disengaja untuk mengimbangi rasa gurih dari areh dan nasinya. Areh yang menemani nasi liwet ini mempunyai rasa yang berbeda dari rasa areh yang biasa saya makan di gudeg Jogja. Sekilas ada rasa gurih seperti putih telur. Bisa jadi ini adalah putih telur yang dikocok kemudian dimasak bersama santan kental dan garam.


Di tempat ini pula kami memesan Cabuk Rambak sebagai snack. Sebenarnya saya berharap bisa menemukan menu Brambang Asem tapi sepertinya makanan itu sudah semakin langka. Cabuk Rambak yang dulu pernah menjadi jajanan saya jaman masih sekolah pada hakekatnya dibuat dari gendar (calon kerupuk yang belum dijemur) yang diiris tipis kemudian disiran saos wijen dan dimakan dengan krupuk karak. Ada juga yang mengganti gendar dengan ketupat yang diris tipis. Keunikan makan cabuk rambak adalah cara makannya tidak menggunakan garpu atau sendok, melainkan memakai lidi yang ditusukkan pada salah satu irisan gendar/ketupat. Demi kepraktisan, pemakaian lidi sudah digantikan oleh tusuk gigi. Harganya sekarang sudah 4 ribu rupiah per porsi, masih cukup murah untuk ukuran jaman sekarang apalagi di daerah wisata kuliner.


Andai saja di Jogja ada tempat seperti ini tentu akan semakin menarik wisatawan untuk datang berkunjung. Sebenarnya ada, tapi biasanya hanya insidentil semisal di kampung Ketandan setelah hari raya Cap Go Meh atau di kampung Kauman selama bulan ramadhan. Banyak jenis makanan di Jogja yang sebenarnya jika dikemas dan lokasinya dikelola dengan baik akan bisa tumbuh menjadi icon wisata baru. Semoga harapan saya ini lekas terwujud sehingga kami tidak perlu jauh-jauh pergi ke Galabo saat kangen jajanan. Tapi buat saya, sungguh… Galabo memang ngangeni...


Tuesday, November 24, 2015

Soto Bakar Jalan Magelang km 8 Mlati Sleman Yogyakarta

www.jogja-jajan.blogspot.com-soto-bakar-sapi

Manusia tercipta sebagai makhluk yang berakal budi, tak heran jika dunia ini penuh dengan ide baru dan inovasi. Jangankan inovasi teknologi, wong bidang makanan saja sudah tak terhitung lagi betapa banyaknya variasi. Contohnya varian persotoan. Saya pernah membaca bahwa pada awalnya soto itu adalah makanan Cina yang pertama kali populer di Semarang dan disebut Caudo. Dari kata Caudo lambat laun berubah menjadi Soto. Orang Makassar menyebutnya coto sedang orang Pekalongan menyebutnya Tauto. Budhe saya (alm) yang tinggal di Solo menyebutnya Sauto.

Tidak hanya penyebutan nama, tapi bumbu dan isi mangkoknya juga mengalami penyesuaian dengan lidah lokal. Oleh karena itu tak heran jika rasa Soto bisa berbeda-beda. Meskipun begitu, beberapa soto yang sejenis mempunyai kesamaan isian mangkoknya, yaitu mie atau soun, tauge, kol, memakai daging ayam/sapi dan dimakan bersama nasi. Kunci kenikmatan makan soto menurut saya terletak pada kuahnya yang panas mengepul. Apalagi jika ditambah sedikit perasan jeruk nipis dan kecap manis dan sambal, wiiih dijamin sedap sekali.
www.jogja-jajan.blogspot.com-soto-bakar-sapi

Di kota Jogja, soto termasuk makanan yang mudah ditemukan. Kita bisa menemukan soto di restoran, kios di dalam pasar, tenda kakilima, pengkolan jalan, bahkan hingga restoran. Dari yang semangkok berharga 3.000 rupiah saja hingga belasan ribu juga ada. Tak sedikit warung soto yang saat ini berubah menjadi tujuan wisata, misalnya Soto Kadipiro.

Kali ini saya tidak akan mebahas tentang soto wisata, saking terkenalnya hingga menurut saya kesannya malah menjadi kurang istimewa. Warung soto yang akan saya bahas ini sejatinya menjual Bakso Rusuk dan Selat Solo, tapi justru di tempat inilah saya menemukan soto bakar yang sekarang menjadi kegemaran saya.
www.jogja-jajan.blogspot.com-soto-bakar-sapi

Oh ya, warung yang kami datangi ini terletak di Jalan Magelang km 8 Mlati Sleman, atau sekitar 1 kilometer di sebelah utara showroom mobil Honda Anugerah Sejahtera. Lokasi parkirnya luas dan ruang duduknya bisa menampung lebih dari 50 orang. Selain membuka cabang di Jalan Magelang, mereka juga punya cabang di Jalan Jogja-Solo daerah Kalasan.
www.jogja-jajan.blogspot.com-soto-bakar-sapi

Warung ini menyajikan soto dengan isian yang biasa, yaitu nasi dan tauge, dalam genangan kuah panas yang membanjiri mangkok ukuran standar. Ditambah dengan sedikit potongan tomat dan cincangan daun seledri, kemudian ditaburi bawang goreng. Jika hanya mencicipi sotonya saja tidak akan terlalu enak rasanya, tapi saat disantap bersama daging bakarnya, saya langsung jatuh cinta pada saat itu juga. Pada kebanyakan warung soto, daging biasanya dipotong atau disuwir. Beda halnya dengan warung ini. Menggunakan daging sapi dalam potongan-potongan besar, yang direbus bersama bumbu kemudian dibakar hingga agak kering. Dibakar cukup kering tapi tidak sampai keras, jadi tekstur dagingnya masih juicy. Daging disajikan dalam piring terpisah bersama kecap manis dan lada bubuk. Rasanya tidak mirip sate, gurih tapi manis dan agak pedas karena bertabur lada bubuk butiran. Yang membuat semakin istimewa adalah soto daging bakar ini dimakan bersama irisan bawang bombay mentah. Kriuknya bombay dengan rasa khasnya yang sebagian orang mungkin tergolong agak nyegrak malah semakin menambah nikmat tatkala bersantap.

www.jogja-jajan.blogspot.com-soto-bakar-sapi
Banyak menu yang bisa dipilih dengan harga yang relatif murah. Jika di warung soto pinggir jalan harga per mangkok soto ayam sudah mencapai 12 ribu, maka menurut saya harga 14 ribu rupiah yang dipatok di warung ini masih wajar mengingat harga daging sapi jauh diatas harga daging ayam.



Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fauzy/asal-usul-soto_5500d9438133112819fa7f35
Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto bahkan beberapa tempat ada yang menyebutnya Sauto. Soto juga merupakan campuran dari berbagai tradisi, baik dari tradisi cina maupun tradisi lokal yang mana bumbu dari soto tersebut di sesuaikan dengan lidah orang indonesia sehingga soto masih menjadi primadona makanan sampai sekarang. Isi dari soto identik dengan mie atau soun, daging ayam / daging sapi / daging kerbau, menggunakan perasan jeruk limau, bawang goreng, koya, dan tidak lupa manambahkan nasi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/fauzy/asal-usul-soto_5500d9438133112819fa7f35

Monday, November 23, 2015

Jogja Paradise Jalan Magelang Jogjakarta

www.jogja-jajan.blogspot.com-paradise
Sore merembang petang saat si denok mungil pulang les balet. Seminggu dua kali dia pergi les di Bailamos Dance School di dekat kantor saya. Biasanya setiap kali pulang les anak saya pasti show off tentang pelajaran yang didapatnya sore itu. Menurut saya sih dari apa yang dia peragakan, gerakan yang dia pelajari sama sekali tidak mirip gerakan balet, malah seperti gerakan senam. Tapi namanya juga level baby class, yang penting buat si denok adalah berlenggok memakai kostum dan sepatu balet sambil ngaca di cermin raksasa bersama teman-teman sebaya.
www.jogja-jajan.blogspot.com-paradise

Sangat sadar bahwa perut anak saya pasti lapar usai euforia balerina, sore itu suami membawa kami ke Jogja Paradise. Ini salah satu oase kami untuk lari sebentar dari keruwetan memikirkan menu makan malam. Lokasinya masih di dalam kota, tepatnya di Jalan Magelang km 6 Jogjakarta, tepat di selatan Indogrosir dan di seberang Jogja City Mall. Parkirnya luas bahkan bisa parkir di area dalam restoran. Terdiri dari belasan tenant dengan konsep foodcourt. Ada pula tenant yang terpisah dengan konsep resto/cafe. Saya pribadi suka tempat ini karena spacious, lapang... dengan taman terbuka yang sejuk dan playground di bagian tengah taman. Mungkin 70% dari keseluruhan area adalah taman dan parkiran, jadi kalau mau nongkrong berjam-jam pun tidak akan terasa bosan. Sambil berbincang dengan suami, saya mudah mengawasi anak saya bermain perosotan dan ayunan hingga puas. Biasanya setelah jam 6 sore mulai banyak keluarga muda yang membawa serta anaknya untuk makan disini. Jika sudah demikian, denok kami lebih memilih berlarian dengan teman-teman barunya mengelilingi taman yang sangat luas ini. Hitung-hitung olahraga dulu, sekaligus meningkatkan nafsu makan.
www.jogja-jajan.blogspot.com-paradise

Lokasi dan suasana memang cukup asik dan menyenangkan, harga makanan standar ukuran mall tapi harga minumannya relatif tinggi untuk ukuran kami. Pilihan menu bervariasi, olahan chinesee food, japanese, thailand atau indonesian food semua ada. Beberapa yang sudah kami coba antara lain steamboat, pempek, nasi langgi, sup magelang, risoles ningrat, sapo tahu, dan menu-menu di restoran Mie Jakarta. Kali ini kami hanya memesan sapo tahu seafood saja beserta nasi sedang untuk cemilan saya memilih pangsit goreng. Seporsi sapo tahu seafood seharga 35 ribu masih termasuk harga standar, sebanding dengan isiannya yang cukup banyak dan variatif. Beberapa ekor udang kupas dan potongan ikan kakap serta bakso mengisi mangkok sapo. Potongan tofu yang digoreng agak kering. Sayurannya tanpa sawi, hanya menggunakan wortel, jamur dan onion serta potongan daun bawang. Wortelnya dipotong dengan apik menyerupai bunga. Beda rumah makan beda pula jamur yang mereka pergunakan. Kali ini sapo tahu yang kami pesan menggunakan jamur merang kuncup dan jamur shiitake ukuran besar. Rasa masakannya menurut lidah saya sedikit keasinan tapi malah pas jika disantap bersama nasi.

www.jogja-jajan.blogspot.com-paradise

Suami saya sudah seminggu lebih maag-nya kambuh, jadi selera makannya masih belum pulih makanya kami hanya memesan 1 menu saja malam ini. Sebagai variasi, saya memesan seporsi pangsit goreng kesukaan si denok. Meskipun pangsitnya tidak selezat pangsit goreng Bakmi GM di mall Pondok Indah, tapi cukuplah untuk teman ngemil sore ini.

Pangsitnya krispi tapi tidak mudah patah, dengan isian daging ayam cincang di salah satu ujungnya. Dicocol dalam saos yang terbuat dari sari tomat dan kaldu ayam yang diberi bumbu lada garam dan sedikit larutan maizena. Pangsit goreng Mie Jakarta dibanderol dengan harga 18 ribu dan berisi 5 lembar.
www.jogja-jajan.blogspot.com-paradise

Untuk minuman saya hanya memesan teh hangat manis dan segelas lidah buaya. Seharusnya disajikan dingin tapi karena suami sedang tidak sehat jadi kami request tanpa es. Minuman Lidah buaya ini dihargai 11 ribu, hanya berisi sekitar 10 butir potongan lidah buaya. Well, sepotongnya berarti berharga seribu rupiah hahahaha. Barangkali sudah waktunya saya mulai belajar membuat es lidah buaya sendiri di rumah.