Jogja Jajan kali ini akan bercerita
tentang makanan yang berlokasi di luar kota Jogja, tepatnya di kota Surakarta Hadiningrat
atau kota Solo di Jawa Tengah.
Sudah beberapa kali ini si denok merengek minta tidur di hotel tiap kali kami melintasi bangunan hotel yang semakin menjamur di Jogja. Entah excitement apa yang ingin dia rasakan, barangkali dia lupa bahwa setiap malam kami sudah tidur di bangunan ex-hotel. Rumah yang kami tempati ini pada awalnya adalah boutique hotel meski hanya berkelas melati, namun sejak beberapa tahun yang lalu sudah kami alih fungsikan menjadi kost putri. Pikir-pikir tak ada salahnya menuruti keinginannya toh kami semua juga rindu untuk escape sejenak dari rutinintas harian.
Sudah beberapa kali ini si denok merengek minta tidur di hotel tiap kali kami melintasi bangunan hotel yang semakin menjamur di Jogja. Entah excitement apa yang ingin dia rasakan, barangkali dia lupa bahwa setiap malam kami sudah tidur di bangunan ex-hotel. Rumah yang kami tempati ini pada awalnya adalah boutique hotel meski hanya berkelas melati, namun sejak beberapa tahun yang lalu sudah kami alih fungsikan menjadi kost putri. Pikir-pikir tak ada salahnya menuruti keinginannya toh kami semua juga rindu untuk escape sejenak dari rutinintas harian.
Akhirnya kami memutuskan untuk alihan
turu di kota Solo, sebuah kota yang hanya berjarak 60 kilo jauhnya dari
sini. Kami menginap di daerah Purwosari, namanya Grand Sae.
Sebagai budget hotel dengan rate 200 ribuan per malam, Grand Sae cukup
memuaskan. Selain dekat dengan pusat kota, hotel ini menyediakan indoor pool
dengan air arus meski ukuran kolam renangnya tergolong mini. Ada juga kolam
untuk anak-anak tapi suhu airnya lebih dingin daripada kolam dewasa. Usai check
in, kamipun meluncur mencari makan malam. Galabo mejadi tujuan utama malam
minggu ini.
Galabo merupakan singkatan dari Gladag Langen Bogan. Gladag itu adalah nama kawasan di kota Solo. Langen artinya kesayangan atau favorit. Bogan artinya masakan. Jika saya terjemahkan bebas artinya kurang lebih tempat makan favorit yang terletak di daerah Gladag. Menempati ruas jalan Mayor Sunaryo, persis di depan Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Jika siang hari, ruas jalan ini tetap berfungsi sebagai jalan raya, namun setelah pukul 6 sore akan ditutup dan dijadikan pusat kuliner.
Galabo merupakan singkatan dari Gladag Langen Bogan. Gladag itu adalah nama kawasan di kota Solo. Langen artinya kesayangan atau favorit. Bogan artinya masakan. Jika saya terjemahkan bebas artinya kurang lebih tempat makan favorit yang terletak di daerah Gladag. Menempati ruas jalan Mayor Sunaryo, persis di depan Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Jika siang hari, ruas jalan ini tetap berfungsi sebagai jalan raya, namun setelah pukul 6 sore akan ditutup dan dijadikan pusat kuliner.
Sore itu kami datang sekitar pukul 18.30, namun suasana masih sangat sepi
padahal ini malam Minggu. Begitu menginjak jam 19.00 barulah para pengunjung
mulai membanjiri tempat ini. Para pedagang berjejer di trotoar menggunakan
gerobak yang bentuknya seragam, sedangkan area duduk para pembeli terletak
persis di tengah-tengah jalan menggunakan meja dan kursi yang juga seragam
coraknya. Jika menghendaki lesehan, tikar akan digelar di seberang, dekat
dengan rel kereta api. Sekilas tempat ini mengingatkan saya akan Pasar Semawis
di kota Semarang. Hanya saja jenis makanan yang di Semawis kebanyakan olahan
daging babi dan mereka tidak menggelar tikar untuk lesehan.
Sebagai wisata kuliner, Galabo
menyediakan banyak pilihan makanan. Hampir semuanya makanan khas kota Solo,
misal Nasi Liwet, Rica-Rica, Tengkleng, Cabuk Rambak, Pecel Lele, Sate Kambing
dan lain sebagainya yang tak dapat saya ingat lagi saking banyaknya.
Dengar-dengar besan pak Jokowi juga mempunyai outlet di Galabo, lalu saya
tanyakan ke pedagang disana. Sayang sekali masakan yang dijual pak besan
presiden masih belum begitu sreg dengan selera saya kali ini jadi kami tidak
mencobanya. Menu yang tertera di gerobak pak besan hampir semuanya sambal dan belut,
antara lain sambel welut dan sambel wader.
Akhirnya kami memutuskan untuk duduk
di bagian tengah ruas jalan, tak jauh dari penyanyi live music. Lagu
yang dimainkan mayoritas mellow ala Koes Plus dan Ebiet. Sambil
menikmati suara merdu sang pengamen jalanan, kamipun lahap menyantap makanan
yang kami pesan. Nasi Liwet khas Solo yang gurih. Rica-rica enthog yang spicy
namun nikmat disantap. Cabuk rambak yang mengingatkan jajanan jaman saya masih
sekolah disini. Tengkleng kambing yang porsinya sungguh besar sekali. Semua
kami nikmati dalam terang lampu jalanan sambil duduk di tengah ruas jalan raya
beneran! Tak terbayangkan bagaimana hebohnya para pembeli jika mendadak turun
hujan, pasti bubar semua deh keramaian.
Tengkleng yang kami pesan berasal dari gerobak sate kambing Petir seharga 22 ribu sudah termasuk nasi putih. Tengkleng merupakan makanan khas Solo, semacam sop berkuah yang terdiri dari tulang-tulang kambing plus sedikit daging yang melekat pada tulang tersebut. Rasanya pedas dan bau kambingnya sudah tidak tercium lagi. Konon kabarnya tengkleng adalah makanan rakyat jelata di abad 19. Kala itu rakyat hanya mendapat jatah sisa karena bagian yang terbaik dipersembahkan bagi para bangsawan. Hebatnya, kaum jelata ini mampu meracik bahan sisa tadi dengan bumbu yang pas sehingga terciptalah tengkleng yang kita kenal saat ini. Berhubung tangan kami belepotan, tengkleng ini tak sempat kami abadikan.
Tengkleng yang kami pesan berasal dari gerobak sate kambing Petir seharga 22 ribu sudah termasuk nasi putih. Tengkleng merupakan makanan khas Solo, semacam sop berkuah yang terdiri dari tulang-tulang kambing plus sedikit daging yang melekat pada tulang tersebut. Rasanya pedas dan bau kambingnya sudah tidak tercium lagi. Konon kabarnya tengkleng adalah makanan rakyat jelata di abad 19. Kala itu rakyat hanya mendapat jatah sisa karena bagian yang terbaik dipersembahkan bagi para bangsawan. Hebatnya, kaum jelata ini mampu meracik bahan sisa tadi dengan bumbu yang pas sehingga terciptalah tengkleng yang kita kenal saat ini. Berhubung tangan kami belepotan, tengkleng ini tak sempat kami abadikan.
Makanan lain yang kami pesan adalah Rica-Rica Enthog. Enthog itu serupa itik manila. Seporsi hanya 11 ribu saja berisi 4 potong paha enthog yang berdaging tebal. Bumbu rica-nya berbeda dengan bumbu rica masakan Jogja. Yang bisa saya sampaikan cuma rica Enthog Galabo ini rasanya enak sekali. Harganya pun tergolong murah mengingat porsinya yang lumayan besar.
Tak lengkap jika tidak memesan Nasi Liwet khas Solo. Menu ini kami pesan dari gerobaknya Yu Temu. Disajikan dalam pincuk atau daun pisang. Kualitas daun yang dipakai cukup bagus, hijau mengkilat, tebal dan bersih. Seporsi nasi liwet dan kerupuk karak/gendar yang dihidangkan bersama sayap ayam kampung dan semangkok sayur dibanderol dengan harga 13 ribu rupiah saja. Jika ingin nasi liwet dengan ayam suwiran, maka cukup membayar 8 ribu rupiah. Semua masakan yang kami cicipi hampir semuanya berbeda rasanya dengan citarasa Jogja, bahkan rasa nasi gurihnya juga berbeda. Nasi liwet yang gurih ini masih diberi sesendok areh/santan kental yang semakin menambah gurih. Beda halnya dengan sayur labu siam yang menjadi teman makan nasi liwet. Jika dimakan terpisah, kuah sayurnya malah minim rasa. Barangkali memang disengaja untuk mengimbangi rasa gurih dari areh dan nasinya. Areh yang menemani nasi liwet ini mempunyai rasa yang berbeda dari rasa areh yang biasa saya makan di gudeg Jogja. Sekilas ada rasa gurih seperti putih telur. Bisa jadi ini adalah putih telur yang dikocok kemudian dimasak bersama santan kental dan garam.
Di tempat ini pula kami memesan Cabuk
Rambak sebagai snack. Sebenarnya saya berharap bisa menemukan menu Brambang
Asem tapi sepertinya makanan itu sudah semakin langka. Cabuk Rambak yang
dulu pernah menjadi jajanan saya jaman masih sekolah pada hakekatnya dibuat
dari gendar (calon kerupuk yang belum dijemur) yang diiris tipis kemudian
disiran saos wijen dan dimakan dengan krupuk karak. Ada juga yang mengganti
gendar dengan ketupat yang diris tipis. Keunikan makan cabuk rambak adalah cara
makannya tidak menggunakan garpu atau sendok, melainkan memakai lidi yang
ditusukkan pada salah satu irisan gendar/ketupat. Demi kepraktisan, pemakaian
lidi sudah digantikan oleh tusuk gigi. Harganya sekarang sudah 4 ribu rupiah
per porsi, masih cukup murah untuk ukuran jaman sekarang apalagi di daerah
wisata kuliner.
Andai saja di Jogja ada tempat seperti ini tentu akan semakin menarik wisatawan untuk datang berkunjung. Sebenarnya ada, tapi biasanya hanya insidentil semisal di kampung Ketandan setelah hari raya Cap Go Meh atau di kampung Kauman selama bulan ramadhan. Banyak jenis makanan di Jogja yang sebenarnya jika dikemas dan lokasinya dikelola dengan baik akan bisa tumbuh menjadi icon wisata baru. Semoga harapan saya ini lekas terwujud sehingga kami tidak perlu jauh-jauh pergi ke Galabo saat kangen jajanan. Tapi buat saya, sungguh… Galabo memang ngangeni...