Ya, wisata ini bahkan sudah saya mulai jauh-jauh hari sejak saya belum tahu pasti menderita sakit apa. Kala itu sudah beberapa bulan kaki saya nyeri mulai dari pantat sampai pergelangan kaki kiri. Rasa kesemutan yang nonstop sejak membuka mata dipagi hari hingga jatuh tertidur di malam hari. Ditambah rasa linu di sepanjang tulang tungkai kiri. Saat siang, linu ini semakin menghebat yang berakhir dengan meninggalkan kantor terpincang-pincang bahkan seringkali engklek dengan sebelah kaki. Waktu itu perasaan saya sungguh sangat tidak nyaman. Seringkali saking sebelnya, tangga yang tidak berdosapun ikut ketiban omelan. Maklum, baik dirumah maupun di kantor saya harus naik turun tangga untuk mencapai ruangan. Akhirnya saya ke dokter. Diagnosa awal kemungkinan gejala rematik. Lalu diberi obat, dengan pesan jika tidak mempan sebaiknya berkunjung ke dokter saraf.
Hiks.. kok dokter saraf?! Image dokter saraf di kepala saya waktu itu adalah kombinasi antara dokter saraf jiwa dengan dokter saraf rujukan pasien stroke. Ga pernah terbayang di benak saya untuk berurusan dengan dokter saraf. Tapi saat obat dokter sudah habis dan nyerinya tidak berkurang, mau tidak mau sayapun mulai mempertimbangkan opsi dokter syaraf. Kebetulan saat itu libur lebaran Hari Raya Idul Fitri 2015. Pas mudik, ibu yang prihatin melihat cara berjalan saya menyarankan untuk mendatangi orang pintar. Beliau ini sangat terkenal di dusun saya, pasiennya beraneka macam mulai dari penderita tumor hingga sakit kepala. Kadang-kadang beliau bahkan melakukan road show di pedukuhan-pedukuhan kampung untuk menyembuhkan orang. Namanya mbah Yatim. Ibu saya yang menderita saraf kejepit bilang kalau ibu sudah membuktikan kehebatan metode pengobatan simbah ini. Paklik Setyo yang stroke juga membaik setelah ditangani simbah. Tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumah bapak saya pas open house lebaran juga banyak yang bercerita sembuh setelah patah tulang dlsb.
Okelah.. daripada saya tersiksa dengan sakitnya plus punya 5 hari nganggur di rumah ibu, akhirnya saya berangkat kesana diantarkan suami dan ibu saya. Ini adalah wisata pertama saya, Wisata Terapi Refleksi. Rumah simbah ini lumayan jauh, terletak di dekat stasiun kereta api Kutoarjo. Dari jalan raya Kutoarjo, belok ke selatan. Ada pertigaan (Jalan Sawunggalih), lurus saja keselatan karena jika ke kanan nanti malah masuk ke stasiun kereta. Kurang lebih 1 kilometer akan menemukan jembatan kecil dengan besi-besi bercat biru. Sekitar 100 meter dari jembatan ada gapura, belok kanan menyusuri tepian sungai. Rumahnya sederhana, cenderung kumuh dengan gambar Bung Karno mendominasi interior ruang tamu yang merangkap ruang praktek. Di pojok ruangan dekat pintu masuk ada dipan kayu berkasur kapuk tipis, dengan bantal dan sprei yang aroma dan bentuknya seolah mengatakan kalau belum dicuci berbulan-bulan. Ternyata setiap pasien harus berbaring di kasur bau itu. Untung ibu saya sudah sedia kain pantai yang langsung digelar menjadi alas tidur. Terbayang dibenak saya betapa pemakaian masker akan membantu mengurangi siksa dunia ini. Tapi demi kesembuhan saya rela menahan derita dari aroma tak sedap tempat tidur milik simbah.
Ternyata derita itu belum seberapa. Aniaya yang sesungguhnya baru akan dimulai. Setelah hening sejenak mengucap doa, simbah ini duduk dibangku kecil menghadap ke telapak kaki saya. Sambil mulutnya terus bercerita tentang penyakit para pasien yang berhasil disembuhkannya, tangannya mengambil semacam alat kecil terbuat dari kayu yang dibentuk bulat dengan ukuran panjang sejengkal. Alat itu dipukul-pukulkan ke jempol kaki saya, kadang ditusukkan ke telapak kaki, kadang dipakai menyisiri sisi luar telapak kaki. Jika telapak kaki kanan saya yang mendapat perlakuan itu tidak akan terasa sakit tapi beda dengan telapak kaki kiri saya. Kadang ujung jari kaki saya ditusuk dengan kuku jempol tangan simbah. Aduh sakitnya sungguh luar biasa, sekarang saja saya masih merinding saat menulis cerita ini. Dan aniaya itu berlangsung selama kurang lebih 20-30 menit, berturut-turut selama 3 hari. Tidak gratis tentu saja. Obat herbal racikan simbah harus ditebus dengan harga 300 ribu dan setiap kunjungan pijat refleksi ibu saya menganjurkan ngamplopi minimal 30 ribu.
Apakah saya sembuh? Tidak. Apakah menjadi lebih ringan penderitaannya? Tidak juga, masih tetap kesemutan dan nyeri di penghujung hari. Lalu apa yang saya dapat dari wisata terapi pertama ini? Pelajaran bahwa nyeri yang saya derita ternyata masih dibawah ambang batas toleransi saya. Simbah membuka mata saya bahwa ternyata saya masih mampu menahan sakit luarbiasa deraan pijat refleksi yang dilakukannya. Artinya saya pasti mampu menahan nyeri harian ini.
Oke, beberapa hari setelah usai libur lebaran saya memutuskan berkunjung ke spesialis syaraf usai jam kerja. Setelah pemeriksaan, dokter meminta saya untuk menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging). Berhubung radiologi sudah tutup selepas jam 7 malam, dokter menyarankan untuk memanfaatkan BPJS yang saya miliki. Ini adalah wisata terapi kedua yang saya jalani, Wisata Terapi Bethesda. Memanfaatkan BPJS sebenarnya cukup membantu dari sisi finansial. Biaya MRI yang mencapai 1 jutaan benar-benar free of charge. Banyak gratisannya, konsultasi dokter, obat (generik), dan sebenarnya juga mendapat fisioterapi 6x gratis tapi tidak saya pergunakan karena hanya dilayani di jam kerja. Yang kurang saya suka cuma 1, wasting time bener deh. Antrian nomor urut sudah dimulai sejak sebelum jam 6 pagi, jadi saat saya datang jam 9 nomor antriannya sudah ratusan. Usai menunggu dipanggil oleh petugas BPJS, saya masih harus mengantri di poli yang ditunjuk, 1 hari hanya melayani 1 poli. Artinya saya harus menghabiskan 1 hari untuk MRI dan 1 hari lagi untuk konsultasi hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging). Saya dimasukkan ke dalam tabung dan tidak boleh bergerak selama lebih dari setengah jam. Serem rasanya! Berbaring dalam tabung yang atapnya cuma sejengkal dari hidung membuat saya terbayang pada liang lahat. Ih ngeri banget.
Hasil MRI RS Bethesda menunjukkan bahwasanya saya mengidap penyakit saraf kejepit. Nama kerennya HNP (Hernia Nucleus Pulposus), yang gampangnya adalah suatu kondisi dimana bantalan tulang belakang saya (Lumbal ke-4 & ke-5) melesat dari posisi yang seharusnya, menembus jaringan otot yang menahannya (hernia) dan menekan saraf yang berhubungan dengan tungkai kiri saya. HNP ini mempunyai ciri yang sangat khas. Kesemutan nonstop dan nyeri hanya di salah satu kaki mulai dari pantat hingga telapak kaki. Andai saya tahu dari awal.
Penjelasan medisnya begini : Tulang belakang (columna vertebra) terdiri dari sederet ruas tulang (vertebra) yaitu tulang leher (cervical), tulang punggung (thoracal), tulang pinggang (lumbal), tulang bokong (sacral) dan tulang ekor (coccygeus). Tulang-tulang tersebut (kecuali tulang sacral), dipisahkan oleh cakram (diskus). Didalam cakram terdapat bantalan yang lentur (nucleus pulposus). Nucleus pulposus diselubungi oleh cincin serat jaringan yang kuat yang disebut annulus fibrosus. Cakram berfungsi sebagai penyerap goncangan (shock absorber) dan berperan penting dalam kelenturan pergerakan tulang belakang, antara lain untuk memutar, menunduk, menengadah dan sebagainya. Didalam tulang belakang terdapat saluran yang berisi sumsum tulang belakang (medulla spinalis) yaitu sistem saraf yang menghubungan otak dengan organ-organ tubuh dibawah. Sumsum tulang belakang terletak di belakang cakram. Bila cakram melemah, ada risiko terjadi robekan pada anulus fibrosus, akibatnya bantalan/nucleus pulposus dapat menonjol sehingga berpotensi menekan/menjepit sumsum tulang belakang dan/atau saraf di sekitarnya. Keadaan ini yang dikenal sebagai HNP
Saat kontrol minggu berikutnya saya berganti dokter senior dan tanpa memakai fasilitas BPJS. Kali ini saya harus membayar lebih dari 500 ribu dan wajib fisioterapi minimal 12x @ 50 ribu. Duh, betapa mahalnya harga kesehatan. Obatpun hanya diberi 2 macam, yaitu anti nyeri dan anti radang untuk dikonsumsi selama 10 hari. Obat anti nyeri sudah jelas tidak baik bagi ginjal saya jika dikonsumsi berkepanjangan. Sedangkan obat anti radang diberikan karena otot kaki saya melemah sehingga pergelangan kaki saya bengkak berbulan-bulan.
Akhirnya supaya tidak tergantung pada obat, saya memutuskan menjalani Fisioterapi dengan durasi selama 45 menit, berupa traksi dan diatermi. Punggung saya dipanaskan dengan alat selama 15 menit (diatermi). Berikutnya dada hingga pinggang saya dibalut dengan korset dengan posisi telentang. Korset tersebut terikat mati memakai tali dengan kepala ranjang rumah sakit. Bagian bawah korset, tepatnya di tulang ekor saya, dikaitkan dengan sling yang terhubung ke mesin beban. Beban diatur sebesar 22 kilogram, kemudian mesin dinyalakan dan punggung saya ditarik ke arah kaki selama 30 menit nonstop. Itu namanya traksi.
Wisata fisioterapi ini sudah saya jalani hingga 12 kali dan selalu di jam 17.00 s/d 18.30. Pernah saya mencoba datang dengan memanfaatkan jam istirahat kantor, eh rupanya petugas fisioterapi tidak berdinas pada jam istirahat. Pikir saya siapa tahu karena rumah sakit ini bergerak di bidang jasa jadi jam istirahat pun juga tetap ada yang jaga. Wong kantor saya yang memperbaiki benda mati saja jam istirahat harus bergantian. Tapi rupanya beda perusahan berbeda pula aturan.
Sebenarnya fisioterapi itu menyenangkan meski deskripsi saya diatas kesannya mengerikan. Tiap kali selesai traksi, punggung saya rasanya ringan dan langkah kakipun terasa melayang. Sayangnya kenikmatan itu hanya berlangsung paling lama 1 jam. Begitu sampai rumah, naik tangga, masuk ke kamar, tetap saja kaki ini masih menderita.
Hingga akhirnya ada teman yang bercerita tentang dokter dan biksu yang berkolaborasi menolong warga Jogja saat gempat dashyat tahun 2006. Tahun itu saya masih di Jakarta. Jadi saat gempa menerjang, banyak warga yang menderita sakit tulang belakang karena tertimpa reruntuhan. Konon kabarnya WHO mengirim dokter Santo, seorang ahli orthopedi yang menerapkan teknik chiropractic untuk mengobati warga yang terluka. Sejak itu, pak dokter ini membuka praktek di Jogja. Saat ini saya sudah tahu bahwa jadwal prakteknya seminggu 4 kali dengan lokasi yang tersebar di 3 tempat, terutama daerah sekitar Jl Monjali, ada yang buka siang dan ada juga yang praktek malam. Menurut cerita yang sudah pernah kesana, proses pijatnya sangat singkat, sekitar 5 menit dengan biaya Rp 70 ribu per kedatangan. Bagi pasien tertentu, ada yang diminta untuk rutin terapi minimal 30 kali kedatangan. Meski berbiaya tinggi, bagi penderita skoliosis pengobatan dokter Santo konon sangat mujarab. Saya sendiri disarankan untuk kesana karena ibarat ilmu, pak dokter ini sudah setaraf master. Sekali pegang tulang belakang, sudah langsung tahu sakit apa & pengobatannya bagaimana.
Disaat yang bersamaan kala gempa Jogja mendera, dari Thailand datanglah seorang biksu bernama Dalong (semoga saya tidak salah tulis karena sumber penulisan ini juga mengaku lupa detailnya). Sang biksu ini datang jauh-jauh dengan niat mulia untuk menolong warga. Beliau sudah berkeliling dunia membaktikan kemampuannya dalam mengobati pasien hingga akhirnya datang menyambangi kota Jogja. Beliau tidak hanya berpraktek tapi sekaligus mengangkat beberapa murid untuk diajari teknik Tairopractic dengan harapan kelak ada yang tetap meneruskan darma baktinya jika sudah ditinggal kembali ke negeri Gajah Putih. Dari sinilah ajaran Tairopractic ini berkembang karena sang murid akhirnya mengajarkan ilmu tsb kepada yang lain. Beberapa murid perdana bahkan sudah ada yang diundang ke Thailand untuk memperdalam ilmunya sekaligus mendapatkan sertifikat Tairopractic langsung dari sana. Meskipun sudah ahli, pengobatan Tairopractic tidak sepenuhnya komersil. Biksu Dalong mensyaratkan para muridnya untuk menyisihkan waktu dan tenaga dalam kegiatan amal bakti sosial supaya ilmu ini semakin memberikan mafaat bagi sesama manusia.
Mendapat 2 informasi di saat yang bersamaan, waktu itu saya langsung mencari tahu dimana lokasi praktek dokter Santo tetapi ternyata sudah berpindah pindah sejak 2008. Suami saya bahkan sampai menyempatkan sesiangan bolak balik di sepanjang jalan Tamansiswa mencari rumah nomor 27 yang sudah berganti peruntukan menjadi Salon Kecantikan. Sempat putus asa saya mencari informasi tentang dokter Santo, hingga akhirnya saya memutuskan untuk Tairo saja.
Berdasarkan informasi yang saya terima, para praktisi Tairo di Jogja membuka bakti sosial seminggu 3 kali, yaitu Senin Rabu dan Jumat. Bertempat di daerah Bintaran. Konon Tairopractic ini pada awalnya adalah pengobatan untuk para bhiksu shaolin yang banyak mengeluhkan sakit usai mempraktekkan kungfu. Terapi itu menjadi pengobatan dan pembenahan saraf yang menitikberatkan pada tulang belakang yang merupakan organ penting bagi pusat syaraf manusia.
Usai jam kerja Rabu sore saya datang, diantar suami yang setia menemani kemanapun saya pergi. Niatan awal hanya mau survey lokasi dan nanya-nanya sama orang-orang yang disitu. Eh malah mendapat kabar kalau sore itu akan ada terapi. Saya dipersilahkan masuk ke bagian belakang area. Aula yang sangat luas dengan kaca-kaca ukuran tinggi manusia di satu sisi ruangan. Hiasan Liong dan burung Phoenix yang sangat besar dan indah. Patung Naga meliliti pilar-pilar di sekeliling aula. Di lantai 2 ada ruangan gelap yang hanya diterangi lampu temaram, warna merah mendominasi suasana. Indah, mempesona, tapi agak menyeramkan. Oh, rupanya ini tempat latihan wushu dan barongsai.
Sore itu saya urutan ke-4 kedatangan, tapi urutan pertama untuk Tairo. Pasien pertama menderita stroke, oma usia 70-an yang masih nampak cantik. Pasien ke-2 anak kecil umur 6 tahunan, autis. Pasien ke-3 remaja umur 13 tahunan tapi otaknya kena virus saat usia 6 tahun sehingga kemanapun pergi selalu digendong ibunya. Semua praktisi selalu berdoa sesuai keyakinannya masing-masing sebelum mulai mengobati. Pertama-tama kami diminta duduk di dekat praktisinya. Mayoritas adalah tante usia 60 tahun keatas, yang sabar menjelaskan dengan senyum yang tak lepas dari bibir mereka. Tante ini meminta saya untuk rileks dan berdoa, memejamkan mata dan menerima aliran energi yang akan diberikan ke saya. Telunjuk kanannya mencari nadi di pergelangan saya dan telapak tangan kirinya menggenggam bagian tubuh yang sakit dan meditasipun dimulai. Sekitar 15 menit kami berdiam. Setelah itu tante menjelaskan, bahwa ini metode penyembuhan Longevitology.
Mereka mempelajari penyerapan energi alam semesta ke dalam tubuh manusia untuk merubah sel-sel tubuh yang rusak agar berkembang menjadi sel aktif yang sehat sehingga aliran Chi dan peredaran darah menjadi lancar. Kata tante, semuanya harus dilakukan dengan hati yang ikhlas baik si penyembuh maupun penderita. Saat itu saya hanya merasakan hangat saja tanpa menyadari bahwa keesokan harinya tambahan energy ini bakalan membuat tubuh saya seolah mengajak untuk lompat-lompat seharian.
Terus terang saya tidak begitu mengerti filosofi Longevitology, tapi yang saya tahu, tambahan energi ini sungguh saya rasakan. Suami saya yang sempat dialiri energy karena sakit maag-nya kambuh juga mengatakan bahwa perutnya terasa hangat seperti memakai balsem tapi hangatnya bisa tahan berhari-hari. Semua pasien mendapatkan aliran energy tapi tidak semuanya mengantri Tairo. Menurut tante, terapi Tairo lebih disarankan bagi penderita saraf terjepit, parkinson, sinusitis, vertigo dan stroke meski tidak akan menolak pasien yang datang dengan keluhan sakit pada lengan/lutut/pinggang/leher maupun terkilir. Orang-orang yang baik hatinya ini juga memberikan layanan tusuk jarum di sebuah kamar tertutup. All for free..
Okelah, malam itu kaki saya masih sakit karena bengkak pada pergelangan. Tapi esok paginya, rasa nyaman yang biasa saya nikmati 1 jam tiap kali usai Fisioterapi di Betesda ternyata bertahan hingga saya datang terapi untuk ke-2 kalinya. Sejauh ini sudah 5 kali saya datang ke Hoo Hap Wee dan kondisi saya semakin membaik saja, meskipun pada pemeriksaan terakhir ditemukan bahwa kaki kiri saya lebih panjang 1 cm daripada kaki kanan. Dahulu sebelum menjalani terapi Tairo, untuk mecapai toilet kantor dari meja kerja, saya perlu 5 kali berhenti menarik nafas menahan sakit dan kesemutan. Sekarang, kadang saya malah menemukan diri saya berlari kecil tanpa saya sadari. Semoga Wisata Terapi Tairo ini menjadi wisata terapi terakhir saya karena sambil di Tairo saya juga sedang dalam proses Wisata Terapi Renang. Kalau terapi yang ini sih sebenarnya aktivitas yang menyenangkan hehehe., Cerita tentang kolam renang yang asik di Jogja saya simpan dulu deh untuk sementara.
Terimakasih Hoo Hap Wee Yogyakarta. Seandainya dekat, ingin rasanya memboyong tetangga dusun saya yang stroke dan skoliosis karena terapi ini selain gratis juga tepat metode penyembuhan. Disebut penyembuhan karena memang tanpa menggunakan obat, jadi kurang pas jika disebut metode pengobatan.
Nah.. tak lengkap cerita saya jika belum bercerita tentang makanan yang ada di sekitar Hoo Hap Wee ini. Berjarak 15 meter dari sini ada Murni Bakery, toko roti yang terkenal murah namun lezat. Selain roti dan tart, Murni juga menyediakan makan prasmanan. Ada pula angkringan di depan pagar. Kadang sambil menunggu giliran, kami makan sego kucing dan minum segelas teh hangat untuk menahan lapar. Di seberang Hoo Hap Wee, ada warung bakso yang tak pernah sepi pengunjung. Baksonya kecil-kecil, lengkap dengan mie kuning dan harganya murah meriah. Cukup membayar 5 ribu saja untuk semangkok mie ayam dan 8 ribu untuk seporsi bakso sapi.
No comments:
Post a Comment