Melanjutkan
edisi jalan-jalan ke kota Solo, usai berkulineran di Galabo, esok harinya kami
berkunjung ke sebuah tempat wisata yang cukup unik. Banyak kereta kuno, wahana permainannya bisa dinikmati anak-anak
hingga orang dewasa, dan dijamin pasti akan berkesan buat denok kecil kami
secara keseluruhan. Apa coba?
Siang itu kami berkunjung ke pabrik gula.
Halah, cuma pabrik gula doang? Bukaaan... justru kami tidak masuk ke dalam area pabriknya karena musim giling tebu sudah selesai, namun di sekitar area pabrik gula ini terdapat Agrowisata Sondokoro, yang terkenal dengan kereta uap kunonya.
Kereta Uap? Wuiih asik sekali..
Jelas.. karena lokomotif kereta ini bertahun 1900-an, mesinnya buatan Jerman dan masih sanggup menarik gerbong hingga sekarang, tahun 2015. Luar biasa!
Agrowisata Sondokoro terletak di desa Sondokoro yang sekarang sudah berganti nama menjadi desa Ngijo, di kecamatan Tasikmadu kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.
Siang itu kami berkunjung ke pabrik gula.
Halah, cuma pabrik gula doang? Bukaaan... justru kami tidak masuk ke dalam area pabriknya karena musim giling tebu sudah selesai, namun di sekitar area pabrik gula ini terdapat Agrowisata Sondokoro, yang terkenal dengan kereta uap kunonya.
Kereta Uap? Wuiih asik sekali..
Jelas.. karena lokomotif kereta ini bertahun 1900-an, mesinnya buatan Jerman dan masih sanggup menarik gerbong hingga sekarang, tahun 2015. Luar biasa!
Agrowisata Sondokoro terletak di desa Sondokoro yang sekarang sudah berganti nama menjadi desa Ngijo, di kecamatan Tasikmadu kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.
Menurut
legenda, dahulu terdapat Padepokan Padas Plapar yang mempunyai banyak murid,
antara lain Sondo dan Koro. Usai wisuda, mereka kembali ke desa masing-masing.
Masa itu ada seorang tumenggung bernama Joko Lelono yang gemar berburu di
hutan. Saat berburu dia berjumpa dengan kyai Sondo beserta anak perempuannya
yang cantik, Sri Widowati. Sang Tumenggung menyukainya,lalu meminangnya dan berjanji akan
menjemputnya pada hari Senin Legi.
Esok harinya,
si Tumenggung berburu lagi di hutan dan saat mengejar buruannya dia melihat
seorang gadis yang berlari menghindar. Gadis ini anaknya Kyai Koro dan sang
Tumenggung pun meminang anak gadis ini pula.
Ternyata,
kedua gadis tersebut bersahabat. Akhirnya timbul perselisihan diantara mereka
yang merembet ke ayah masing-masing. Terjadilah pertarungan antara kyai Sondo
dan kyai Koro selama 40 hari 40 malam. Karena ilmunya seimbang, tak ada yang
kalah dan tak ada yang menang. Akhirnya untuk memperingati hal tersebut, lokasi
perkelahian mereka dinamakan Sondokoro. Tak diceritakan lagi bagaimana akhir
cinta segitiga itu. Saat KGPAA Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula, nama
daerah ini diubah menjadi Tasikmadu dengan harapan hasil produksinya akan
melimpah bagaikan danau madu. Untuk mengenang sejarah, pihak PG Tasikmadu
kemudian memberi nama Agrowisata ini Sondokoro supaya masyarakat teringat asal mulanya
Tasikmadu.
Saat
melintasi jembatan Bengawan Solo, kami menghitung Agrowisata ini hanya berjarak
sekitar 9 kilometer jauhnya. Lokasi Agrowisata menyatu dengan areal pabrik gula Tasikmadu. Pabrik gula ini masih berfungsi, bahkan pada bulan Mei-Oktober,
pengunjung diperkenankan menyaksikan proses penggilingan tebu hingga
pemurniannya menjadi gula. Demi keamanan, biasanya anak-anak tidak
diperkenankan masuk karena banyak mesin raksasa yang deru suaranya mungkin
terdengar menakutkan bagi mereka.
Selain wisata pabrik gula, di bagian luar pabrik, terdapat wahana yang sangat luas dengan berbagai permainan yang pasti menarik minat anak-anak. Dinaungi rindangnya daun-daun pepohonan yang tumbuh subur dan terawat baik, saya menemukan taman lalulintas bagi si denok yang hobi bermain mobil-mobilan. Ada juga kolam renang kecil bagi mereka yang suka main air, dan ada rumah pohon bagi yang suka memanjat. Bianglala, flying fox, trampolin, ayunan dan taman bisa dinikmati dengan bebas. Harganya pun sangaaaat murah. Tiket masuk 5 ribu per orang, dan tiket wahana mulai 5 ribu hingga termahal 9 ribu.
Berhubung kaki saya sakit akibat menderita HNP, jarak antara parkiran dengan wahana yang hanya sekitar 50 meter saja terasa jauh buat saya. Ditambah lagi areal wahana seluas 22 ha, mustahil saya jelajahi semua. Akhirnya kami memutuskan untuk berwisata kereta uap saja. Ada 4 macam kereta kuno yang kami temukan, namun hanya 3 jenis saja yang beroperasi. Pertama tama kami naik Spoor Gula dengan tiket seharga 6.000 per orang. Spoor Gula bermesin diesel ini dibuat pada tahun 1905. Lokomotif diesel dicat hijau dengan nomor seri TM.D.V, buatan Orenstein-Koppel Und Lubecker Maschinenbau Werk Dortmund. Stasiun Spoor Gula berada di sebelah timur taman Agrowisata Sondokoro. Jalurnya melingkari area Agrowisata, melewati depan Pabrik Gula Tasikmadu, masuk ke wilayah gudang, keluar melewati jalan raya kawasan wisata, perkantoran Pabrik Gula Tasikmadu, masuk ke rumah dinas administrasi dan berakhir di stasiun lagi.
Saat naik Spoor Gula kami berpapasan dengan kereta lain yang berbahan kayu bakar. Penasaran, akhirnya kami beralih ke stasiun Spoor Tebu. Kereta ini dibuat tahun 1901 dan merupakan kereta tertua disini. Jalur spoor melewati bagian selatan Agrowisata mulai dari penggilingan hingga belakang pabrik (pengemasan), melewati gudang menuju depan pabrik dan berakhir di taman parkir stasiun. Harga tiketnya seharga 9 ribu, sangat murah untuk ukuran kereta uap yang kuno dan antik seperti ini.
Kereta yang terakhir adalah Spoor Sakarosa, bermesin buatan Jerman pada tahun 1902. Harga tiketnya juga sama 9 ribu rupiah. Bahan bakarnya juga menggunakan kayu bakar. Rutenya paling jauh, melewati rumah dinas karyawan, melintasi terowongan, menyeberangi jalan hingga menembus gudang pabrik, memutar ke belakang pabrik dan melewati deretan lori yang biasa untuk mengangkut tebu saat musim giling hingga berhenti di stasiun kembali.
Ada satu kereta namanya Spoor Classic yang memang tidak dioperasikan karena sangat istimewa. Spoor ini hanya ada 2 di dunia yaitu di Agrowisata Sondokoro dan satunya lagi di Norwegia. Dibuat tahun 1929 di Orenstein & Kopple, Howaves, Berlin. Biasanya dinaiki pejabat atau wisatawan luar negeri, sehingga tempat duduknya didesain mewah dan dilengkapi televisi.
Kereta uap ini semuanya dioperasikan dari tenaga uap yang bersumber dari sebuah ketel besar yang menampung sekitar 600 liter air. Air tersebut direbus dengan kayu bakar hingga mendidih dan menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan untuk menggerakkan roda kereta sehingga kereta dapat berjalan. Sepanjang perjalanan, bapak masinis dan asistennya kadang masih harus menggergaji beberapa potong kayu bakar untuk menambah tenaga kereta. Jenis kayu yang dipergunakan merupakan campuran dari kayu trembesi, sengon dan karet. Sebelum bisa dioperasikan, kayu harus dibakar dulu selama kurang lebih 4 jam. Agrowisata ini buka sejak pukul 8 pagi jadi mereka sudah harius mulai mendidihkan ketel sejak pukul 4 pagi. Luar biasa.
Di depan stasiun Spoor Sakarosa saya menemukan penjual brambang asem, makanan khas Solo yang sudah hampir punah, namun sayang sekali jam 10 pagi sudah habis tak bersisa. Akhirnya usai berkeliling naik kereta, kami beristirahat di Griya Resto Bu Juwita. Ini merupakan resto pemancingan namun jenis ikan yang terhidang hanya ada 3 pilihan, gurami, nila atau lele. Sistemnya porsian, jadi jika tak habis, ikan bisa dibungkus dibawa pulang. Sambil menunggu, pengunjung dapat memberi makan ikan peliharaan dengan palet ikan yang sudah dikemas dalam plastik kecil. 1 plastik palet ikan harganya 500 rupiah dan sifatnya tidak memaksa.
Siang itu kami memesan Nila goreng saja karena sudah kadung lapar. Seporsi berharga 40 ribu dan berisi 3 ekor ikan ukuran besar. Sedikit lalapan dan sambal menemani makan siang kami beserta semangkok sayur asam yang rasanya manis asem pedes menyegarkan. Rasa ikan dimana-mana standar, dan karena menggunakan ikan segar maka dagingnya terasa manis. Sambal plus lalapan dijual terpisah, dengan harga 3.500. Sayur asemnya pun berharga 3.500. Sayangnya udara di dalam resto ini sangat gerah, tak ada angin bertiup dan tidak tersedia kipas angin. Di ruangan dalam rumah sebenarnya adem karena merupakan rumah bergaya Belanda, namun auranya agak spooky jadi kami memilih duduk di luar saja.
Menurut saya konsep wisata yang ada di area Agrowisata Sondokoro ini sebenarnya sangat lengkap. Wisata edukasi diberikan ke pengunjung melalui pemaparan proses pembuatan gula, wisata tantangan disediakan melalui wahana flying fox dan jembatan gantung yang juga berfungsi untuk melatih keberanian anak-anak, wisata keceriaan melalui kolam renang, wisata kesehatan di kolam refleksi ikan, edukasi lalulintas di taman lalulintas dan terutama, wisata kuliner di resto dan beragam stand yang banyak tersebar di areal ini.
.
Selain wisata pabrik gula, di bagian luar pabrik, terdapat wahana yang sangat luas dengan berbagai permainan yang pasti menarik minat anak-anak. Dinaungi rindangnya daun-daun pepohonan yang tumbuh subur dan terawat baik, saya menemukan taman lalulintas bagi si denok yang hobi bermain mobil-mobilan. Ada juga kolam renang kecil bagi mereka yang suka main air, dan ada rumah pohon bagi yang suka memanjat. Bianglala, flying fox, trampolin, ayunan dan taman bisa dinikmati dengan bebas. Harganya pun sangaaaat murah. Tiket masuk 5 ribu per orang, dan tiket wahana mulai 5 ribu hingga termahal 9 ribu.
Berhubung kaki saya sakit akibat menderita HNP, jarak antara parkiran dengan wahana yang hanya sekitar 50 meter saja terasa jauh buat saya. Ditambah lagi areal wahana seluas 22 ha, mustahil saya jelajahi semua. Akhirnya kami memutuskan untuk berwisata kereta uap saja. Ada 4 macam kereta kuno yang kami temukan, namun hanya 3 jenis saja yang beroperasi. Pertama tama kami naik Spoor Gula dengan tiket seharga 6.000 per orang. Spoor Gula bermesin diesel ini dibuat pada tahun 1905. Lokomotif diesel dicat hijau dengan nomor seri TM.D.V, buatan Orenstein-Koppel Und Lubecker Maschinenbau Werk Dortmund. Stasiun Spoor Gula berada di sebelah timur taman Agrowisata Sondokoro. Jalurnya melingkari area Agrowisata, melewati depan Pabrik Gula Tasikmadu, masuk ke wilayah gudang, keluar melewati jalan raya kawasan wisata, perkantoran Pabrik Gula Tasikmadu, masuk ke rumah dinas administrasi dan berakhir di stasiun lagi.
Saat naik Spoor Gula kami berpapasan dengan kereta lain yang berbahan kayu bakar. Penasaran, akhirnya kami beralih ke stasiun Spoor Tebu. Kereta ini dibuat tahun 1901 dan merupakan kereta tertua disini. Jalur spoor melewati bagian selatan Agrowisata mulai dari penggilingan hingga belakang pabrik (pengemasan), melewati gudang menuju depan pabrik dan berakhir di taman parkir stasiun. Harga tiketnya seharga 9 ribu, sangat murah untuk ukuran kereta uap yang kuno dan antik seperti ini.
Kereta yang terakhir adalah Spoor Sakarosa, bermesin buatan Jerman pada tahun 1902. Harga tiketnya juga sama 9 ribu rupiah. Bahan bakarnya juga menggunakan kayu bakar. Rutenya paling jauh, melewati rumah dinas karyawan, melintasi terowongan, menyeberangi jalan hingga menembus gudang pabrik, memutar ke belakang pabrik dan melewati deretan lori yang biasa untuk mengangkut tebu saat musim giling hingga berhenti di stasiun kembali.
Ada satu kereta namanya Spoor Classic yang memang tidak dioperasikan karena sangat istimewa. Spoor ini hanya ada 2 di dunia yaitu di Agrowisata Sondokoro dan satunya lagi di Norwegia. Dibuat tahun 1929 di Orenstein & Kopple, Howaves, Berlin. Biasanya dinaiki pejabat atau wisatawan luar negeri, sehingga tempat duduknya didesain mewah dan dilengkapi televisi.
Kereta uap ini semuanya dioperasikan dari tenaga uap yang bersumber dari sebuah ketel besar yang menampung sekitar 600 liter air. Air tersebut direbus dengan kayu bakar hingga mendidih dan menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan untuk menggerakkan roda kereta sehingga kereta dapat berjalan. Sepanjang perjalanan, bapak masinis dan asistennya kadang masih harus menggergaji beberapa potong kayu bakar untuk menambah tenaga kereta. Jenis kayu yang dipergunakan merupakan campuran dari kayu trembesi, sengon dan karet. Sebelum bisa dioperasikan, kayu harus dibakar dulu selama kurang lebih 4 jam. Agrowisata ini buka sejak pukul 8 pagi jadi mereka sudah harius mulai mendidihkan ketel sejak pukul 4 pagi. Luar biasa.
Di depan stasiun Spoor Sakarosa saya menemukan penjual brambang asem, makanan khas Solo yang sudah hampir punah, namun sayang sekali jam 10 pagi sudah habis tak bersisa. Akhirnya usai berkeliling naik kereta, kami beristirahat di Griya Resto Bu Juwita. Ini merupakan resto pemancingan namun jenis ikan yang terhidang hanya ada 3 pilihan, gurami, nila atau lele. Sistemnya porsian, jadi jika tak habis, ikan bisa dibungkus dibawa pulang. Sambil menunggu, pengunjung dapat memberi makan ikan peliharaan dengan palet ikan yang sudah dikemas dalam plastik kecil. 1 plastik palet ikan harganya 500 rupiah dan sifatnya tidak memaksa.
Siang itu kami memesan Nila goreng saja karena sudah kadung lapar. Seporsi berharga 40 ribu dan berisi 3 ekor ikan ukuran besar. Sedikit lalapan dan sambal menemani makan siang kami beserta semangkok sayur asam yang rasanya manis asem pedes menyegarkan. Rasa ikan dimana-mana standar, dan karena menggunakan ikan segar maka dagingnya terasa manis. Sambal plus lalapan dijual terpisah, dengan harga 3.500. Sayur asemnya pun berharga 3.500. Sayangnya udara di dalam resto ini sangat gerah, tak ada angin bertiup dan tidak tersedia kipas angin. Di ruangan dalam rumah sebenarnya adem karena merupakan rumah bergaya Belanda, namun auranya agak spooky jadi kami memilih duduk di luar saja.
Menurut saya konsep wisata yang ada di area Agrowisata Sondokoro ini sebenarnya sangat lengkap. Wisata edukasi diberikan ke pengunjung melalui pemaparan proses pembuatan gula, wisata tantangan disediakan melalui wahana flying fox dan jembatan gantung yang juga berfungsi untuk melatih keberanian anak-anak, wisata keceriaan melalui kolam renang, wisata kesehatan di kolam refleksi ikan, edukasi lalulintas di taman lalulintas dan terutama, wisata kuliner di resto dan beragam stand yang banyak tersebar di areal ini.
Saat hendak pulang, di dekat areal parkiran, terdapat
beberapa penjual souvenir dan makanan khas Agrowisata Sondokoro. Kami membeli 2
macam snack yaitu grubi dan gapit.
Grubi terbuat dari ubi
jalar yang diparut tipis memanjang dan dibentuk bulat menyerupai gumpalan
benang. Setelah digoreng lalu diberi gula jawa. Teksturnya renyah ketika
dimakan. Rasanya unik perpaduan manisnya ubi ditambah gula jawa asli. Selain
memberi rasa, penambahan gula jawa selain juga untuk menghindari penggunaan
pemanis buatan sekaligus berfungsi sebagai bahan pengawet tradisional sehingga
Grubi pun sehat untuk disantap.
Selain Grubi kami
juga membeli Gapit. Makanan ini berbentuk bulat dan tipis dengan tekstur yang
renyah. Menurut ibu penjualnya, Gapit terbuat dari tepung beras, telur dan gula yang dicetak tipis lalu dipanggang. Dibandingkan dengan Grubi, Gapit cenderung
minimalis citarasanya.