Tuesday, December 1, 2015

Agrowisata Sondokoro, Kereta Uap dan Ikan Nila


Melanjutkan edisi jalan-jalan ke kota Solo, usai berkulineran di Galabo, esok harinya kami berkunjung ke sebuah tempat wisata yang cukup unik. Banyak kereta kuno, wahana permainannya bisa dinikmati anak-anak hingga orang dewasa, dan dijamin pasti akan berkesan buat denok kecil kami secara keseluruhan. Apa coba?
Siang itu kami berkunjung ke pabrik gula.

Halah, cuma pabrik gula doang? Bukaaan... justru kami tidak masuk ke dalam area pabriknya karena musim giling tebu sudah selesai, namun di sekitar area pabrik gula ini terdapat Agrowisata Sondokoro, yang terkenal dengan kereta uap kunonya.

Kereta Uap? Wuiih asik sekali..
Jelas.. karena lokomotif kereta ini bertahun 1900-an, mesinnya buatan Jerman dan masih sanggup menarik gerbong hingga sekarang, tahun 2015. Luar biasa!

Agrowisata Sondokoro terletak di desa Sondokoro yang sekarang sudah berganti nama menjadi desa Ngijo, di kecamatan Tasikmadu kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. 

Menurut legenda, dahulu terdapat Padepokan Padas Plapar yang mempunyai banyak murid, antara lain Sondo dan Koro. Usai wisuda, mereka kembali ke desa masing-masing. Masa itu ada seorang tumenggung bernama Joko Lelono yang gemar berburu di hutan. Saat berburu dia berjumpa dengan kyai Sondo beserta anak perempuannya yang cantik, Sri Widowati. Sang Tumenggung menyukainya,lalu meminangnya dan berjanji akan menjemputnya pada hari Senin Legi.
Esok harinya, si Tumenggung berburu lagi di hutan dan saat mengejar buruannya dia melihat seorang gadis yang berlari menghindar. Gadis ini anaknya Kyai Koro dan sang Tumenggung pun meminang anak gadis ini pula.

Ternyata, kedua gadis tersebut bersahabat. Akhirnya timbul perselisihan diantara mereka yang merembet ke ayah masing-masing. Terjadilah pertarungan antara kyai Sondo dan kyai Koro selama 40 hari 40 malam. Karena ilmunya seimbang, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang. Akhirnya untuk memperingati hal tersebut, lokasi perkelahian mereka dinamakan Sondokoro. Tak diceritakan lagi bagaimana akhir cinta segitiga itu. Saat KGPAA Mangkunegara IV mendirikan pabrik gula, nama daerah ini diubah menjadi Tasikmadu dengan harapan hasil produksinya akan melimpah bagaikan danau madu. Untuk mengenang sejarah, pihak PG Tasikmadu kemudian memberi nama Agrowisata ini Sondokoro supaya masyarakat teringat asal mulanya Tasikmadu.

Saat melintasi jembatan Bengawan Solo, kami menghitung Agrowisata ini hanya berjarak sekitar 9 kilometer jauhnya. Lokasi Agrowisata menyatu dengan areal pabrik gula Tasikmadu. Pabrik gula ini masih berfungsi, bahkan pada bulan Mei-Oktober, pengunjung diperkenankan menyaksikan proses penggilingan tebu hingga pemurniannya menjadi gula. Demi keamanan, biasanya anak-anak tidak diperkenankan masuk karena banyak mesin raksasa yang deru suaranya mungkin terdengar menakutkan bagi mereka.

Selain wisata pabrik gula, di bagian luar pabrik, terdapat wahana yang sangat luas dengan berbagai permainan yang pasti menarik minat anak-anak. Dinaungi rindangnya daun-daun pepohonan yang tumbuh subur dan terawat baik, saya menemukan taman lalulintas bagi si denok yang hobi bermain mobil-mobilan. Ada juga kolam renang kecil bagi mereka yang suka main air, dan ada rumah pohon bagi yang suka memanjat. Bianglala, flying fox, trampolin, ayunan dan taman bisa dinikmati dengan bebas. Harganya pun sangaaaat murah. Tiket masuk 5 ribu per orang, dan tiket wahana mulai 5 ribu hingga termahal 9 ribu.


Berhubung kaki saya sakit akibat menderita HNP, jarak antara parkiran dengan wahana yang hanya sekitar 50 meter saja terasa jauh buat saya. Ditambah lagi areal wahana seluas 22 ha, mustahil saya jelajahi semua. Akhirnya kami memutuskan untuk berwisata kereta uap saja. Ada 4 macam kereta kuno yang kami temukan, namun hanya 3 jenis saja yang beroperasi. Pertama tama kami naik Spoor Gula dengan tiket seharga 6.000 per orang. Spoor Gula bermesin diesel ini dibuat pada tahun 1905. Lokomotif diesel dicat hijau dengan nomor seri TM.D.V, buatan Orenstein-Koppel Und Lubecker Maschinenbau Werk Dortmund. Stasiun Spoor Gula berada di sebelah timur taman Agrowisata Sondokoro. Jalurnya melingkari area Agrowisata, melewati depan Pabrik Gula Tasikmadu, masuk ke wilayah gudang, keluar melewati jalan raya kawasan wisata, perkantoran Pabrik Gula Tasikmadu, masuk ke rumah dinas administrasi dan berakhir di stasiun lagi.


Saat naik Spoor Gula kami berpapasan dengan kereta lain yang berbahan kayu bakar. Penasaran, akhirnya kami beralih ke stasiun Spoor Tebu. Kereta ini dibuat tahun 1901 dan merupakan kereta tertua disini. Jalur spoor melewati bagian selatan Agrowisata mulai dari penggilingan hingga belakang pabrik (pengemasan), melewati gudang menuju depan pabrik dan berakhir di taman parkir stasiun. Harga tiketnya seharga 9 ribu, sangat murah untuk ukuran kereta uap yang kuno dan antik seperti ini.

Kereta yang terakhir adalah Spoor Sakarosa, bermesin buatan Jerman pada tahun 1902. Harga tiketnya juga sama 9 ribu rupiah. Bahan bakarnya juga menggunakan kayu bakar. Rutenya paling jauh, melewati rumah dinas karyawan, melintasi terowongan, menyeberangi jalan hingga menembus gudang pabrik, memutar ke belakang pabrik dan melewati deretan lori yang biasa untuk mengangkut tebu saat musim giling hingga berhenti di stasiun kembali.

Ada satu kereta  namanya Spoor Classic yang memang tidak dioperasikan karena sangat istimewa. Spoor ini hanya ada 2 di dunia yaitu di Agrowisata Sondokoro dan satunya lagi di Norwegia. Dibuat tahun 1929 di Orenstein & Kopple, Howaves, Berlin. Biasanya dinaiki pejabat atau wisatawan luar negeri, sehingga tempat duduknya didesain mewah dan dilengkapi televisi.

Kereta uap ini semuanya dioperasikan dari tenaga uap yang bersumber dari sebuah ketel besar yang menampung sekitar 600 liter air. Air tersebut direbus dengan kayu bakar hingga mendidih dan menghasilkan uap. Uap tersebut digunakan untuk menggerakkan roda kereta sehingga kereta dapat berjalan. Sepanjang perjalanan, bapak masinis dan asistennya kadang masih harus menggergaji beberapa potong kayu bakar untuk menambah tenaga kereta. Jenis kayu yang dipergunakan merupakan campuran dari kayu trembesi, sengon dan karet. Sebelum bisa dioperasikan, kayu harus dibakar dulu selama kurang lebih 4 jam. Agrowisata ini buka sejak pukul 8 pagi jadi mereka sudah harius mulai mendidihkan ketel sejak pukul 4 pagi. Luar biasa.

Di depan stasiun Spoor Sakarosa saya menemukan penjual brambang asem, makanan khas Solo yang sudah hampir punah, namun sayang sekali jam 10 pagi sudah habis tak bersisa. Akhirnya usai berkeliling naik kereta, kami beristirahat di Griya Resto Bu Juwita. Ini merupakan resto pemancingan namun jenis ikan yang terhidang hanya ada 3 pilihan,  gurami, nila atau lele. Sistemnya porsian, jadi jika tak habis, ikan bisa dibungkus dibawa pulang. Sambil menunggu, pengunjung dapat memberi makan ikan peliharaan dengan palet ikan yang sudah dikemas dalam plastik kecil. 1 plastik palet ikan harganya 500 rupiah dan sifatnya tidak memaksa.

Siang itu kami memesan Nila goreng saja karena sudah kadung lapar. Seporsi berharga 40 ribu dan berisi 3 ekor ikan ukuran besar. Sedikit lalapan dan sambal menemani makan siang kami beserta semangkok sayur asam yang rasanya manis asem pedes menyegarkan. Rasa ikan dimana-mana standar, dan karena menggunakan ikan segar maka dagingnya terasa manis. Sambal plus lalapan dijual terpisah, dengan harga 3.500. Sayur asemnya pun berharga 3.500. 
Sayangnya udara di dalam resto ini sangat gerah, tak ada angin bertiup dan tidak tersedia kipas angin. Di ruangan dalam rumah sebenarnya adem karena merupakan rumah bergaya Belanda, namun auranya agak spooky jadi kami memilih duduk di luar saja.



Menurut saya konsep wisata yang ada di area Agrowisata Sondokoro ini sebenarnya sangat lengkap. Wisata edukasi diberikan ke pengunjung melalui pemaparan proses pembuatan gula, wisata tantangan disediakan melalui wahana flying fox dan jembatan gantung yang juga berfungsi untuk melatih keberanian anak-anak, wisata keceriaan melalui kolam renang, wisata kesehatan di kolam refleksi ikan, edukasi lalulintas di taman lalulintas dan terutama, wisata kuliner di resto dan beragam stand yang banyak tersebar di areal ini.




Saat hendak pulang, di dekat areal parkiran, terdapat beberapa penjual souvenir dan makanan khas Agrowisata Sondokoro. Kami membeli 2 macam snack yaitu grubi dan gapit.
Grubi terbuat dari ubi jalar yang diparut tipis memanjang dan dibentuk bulat menyerupai gumpalan benang. Setelah digoreng lalu diberi gula jawa. Teksturnya renyah ketika dimakan. Rasanya unik perpaduan manisnya ubi ditambah gula jawa asli. Selain memberi rasa, penambahan gula jawa selain juga untuk menghindari penggunaan pemanis buatan sekaligus berfungsi sebagai bahan pengawet tradisional sehingga Grubi pun sehat untuk disantap. 
Selain Grubi kami juga membeli Gapit. Makanan ini berbentuk bulat dan tipis dengan tekstur yang renyah. Menurut ibu penjualnya, Gapit terbuat dari tepung beras, telur dan gula yang dicetak tipis lalu dipanggang. Dibandingkan dengan Grubi, Gapit cenderung minimalis citarasanya
.


Thursday, November 26, 2015

GALABO, kulineran di Kota Solo




Jogja Jajan kali ini akan bercerita tentang makanan yang berlokasi di luar kota Jogja, tepatnya di kota Surakarta Hadiningrat atau kota Solo di Jawa Tengah.

Sudah beberapa kali ini si denok merengek minta tidur di hotel tiap kali kami melintasi bangunan hotel yang semakin menjamur di Jogja. Entah excitement apa yang ingin dia rasakan, barangkali dia lupa bahwa setiap malam kami sudah tidur di bangunan ex-hotel. Rumah yang kami tempati ini pada awalnya adalah boutique hotel meski hanya berkelas melati, namun sejak beberapa tahun yang lalu sudah kami alih fungsikan menjadi kost putri. Pikir-pikir tak ada salahnya menuruti keinginannya toh kami semua juga rindu untuk escape sejenak dari rutinintas harian.
Akhirnya kami memutuskan untuk alihan turu di kota Solo, sebuah kota yang hanya berjarak 60 kilo jauhnya dari sini. Kami menginap di daerah Purwosari, namanya Grand Sae. Sebagai budget hotel dengan rate 200 ribuan per malam, Grand Sae cukup memuaskan. Selain dekat dengan pusat kota, hotel ini menyediakan indoor pool dengan air arus meski ukuran kolam renangnya tergolong mini. Ada juga kolam untuk anak-anak tapi suhu airnya lebih dingin daripada kolam dewasa. Usai check in, kamipun meluncur mencari makan malam. Galabo mejadi tujuan utama malam minggu ini.

Galabo merupakan singkatan dari Gladag Langen Bogan. Gladag itu adalah nama kawasan di kota Solo. Langen artinya kesayangan atau favorit. Bogan artinya masakan. Jika saya terjemahkan bebas artinya kurang lebih tempat makan favorit yang terletak di daerah Gladag. Menempati ruas jalan Mayor Sunaryo, persis di depan Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo. Jika siang hari, ruas jalan ini tetap berfungsi sebagai jalan raya, namun setelah pukul 6 sore akan ditutup dan dijadikan pusat kuliner.
 
Sore itu kami datang sekitar pukul 18.30, namun suasana masih sangat sepi padahal ini malam Minggu. Begitu menginjak jam 19.00 barulah para pengunjung mulai membanjiri tempat ini. Para pedagang berjejer di trotoar menggunakan gerobak yang bentuknya seragam, sedangkan area duduk para pembeli terletak persis di tengah-tengah jalan menggunakan meja dan kursi yang juga seragam coraknya. Jika menghendaki lesehan, tikar akan digelar di seberang, dekat dengan rel kereta api. Sekilas tempat ini mengingatkan saya akan Pasar Semawis di kota Semarang. Hanya saja jenis makanan yang di Semawis kebanyakan olahan daging babi dan mereka tidak menggelar tikar untuk lesehan.

Sebagai wisata kuliner, Galabo menyediakan banyak pilihan makanan. Hampir semuanya makanan khas kota Solo, misal Nasi Liwet, Rica-Rica, Tengkleng, Cabuk Rambak, Pecel Lele, Sate Kambing dan lain sebagainya yang tak dapat saya ingat lagi saking banyaknya. Dengar-dengar besan pak Jokowi juga mempunyai outlet di Galabo, lalu saya tanyakan ke pedagang disana. Sayang sekali masakan yang dijual pak besan presiden masih belum begitu sreg dengan selera saya kali ini jadi kami tidak mencobanya. Menu yang tertera di gerobak pak besan hampir semuanya sambal dan belut, antara lain sambel welut dan sambel wader.
Akhirnya kami memutuskan untuk duduk di bagian tengah ruas jalan, tak jauh dari penyanyi live music. Lagu yang dimainkan mayoritas mellow ala Koes Plus dan Ebiet. Sambil menikmati suara merdu sang pengamen jalanan, kamipun lahap menyantap makanan yang kami pesan. Nasi Liwet khas Solo yang gurih. Rica-rica enthog yang spicy namun nikmat disantap. Cabuk rambak yang mengingatkan jajanan jaman saya masih sekolah disini. Tengkleng kambing yang porsinya sungguh besar sekali. Semua kami nikmati dalam terang lampu jalanan sambil duduk di tengah ruas jalan raya beneran! Tak terbayangkan bagaimana hebohnya para pembeli jika mendadak turun hujan, pasti bubar semua deh keramaian.

Tengkleng yang kami pesan berasal dari gerobak sate kambing Petir seharga 22 ribu sudah termasuk nasi putih. Tengkleng merupakan makanan khas Solo, semacam sop berkuah yang terdiri dari tulang-tulang kambing plus sedikit daging yang melekat pada tulang tersebut. Rasanya pedas dan bau kambingnya sudah tidak tercium lagi.  Konon kabarnya tengkleng adalah makanan rakyat jelata di abad 19. Kala itu rakyat hanya mendapat jatah sisa karena bagian yang terbaik dipersembahkan bagi para bangsawan. Hebatnya, kaum jelata ini mampu meracik bahan sisa tadi dengan bumbu yang pas sehingga terciptalah tengkleng yang kita kenal saat ini. Berhubung tangan kami belepotan, tengkleng ini tak sempat kami abadikan.


Makanan lain yang kami pesan adalah Rica-Rica Enthog. Enthog itu serupa itik manila. Seporsi hanya 11 ribu saja berisi 4 potong paha enthog yang berdaging tebal. Bumbu rica-nya berbeda dengan bumbu rica masakan Jogja. Yang bisa saya sampaikan cuma rica Enthog Galabo ini rasanya enak sekali. Harganya pun tergolong murah mengingat porsinya yang lumayan besar.





Tak lengkap jika tidak memesan Nasi Liwet khas Solo. Menu ini kami pesan dari gerobaknya Yu Temu. Disajikan dalam pincuk atau daun pisang. Kualitas daun yang dipakai cukup bagus, hijau mengkilat, tebal dan bersih. Seporsi nasi liwet dan kerupuk karak/gendar yang dihidangkan bersama sayap ayam kampung dan semangkok sayur dibanderol dengan harga 13 ribu rupiah saja. Jika ingin nasi liwet dengan ayam suwiran, maka cukup membayar 8 ribu rupiah. Semua masakan yang kami cicipi hampir semuanya berbeda rasanya dengan citarasa Jogja, bahkan rasa nasi gurihnya juga berbeda. Nasi liwet yang gurih ini masih diberi sesendok areh/santan kental yang semakin menambah gurih. Beda halnya dengan sayur labu siam yang menjadi teman makan nasi liwet. Jika dimakan terpisah, kuah sayurnya malah minim rasa. Barangkali memang disengaja untuk mengimbangi rasa gurih dari areh dan nasinya. Areh yang menemani nasi liwet ini mempunyai rasa yang berbeda dari rasa areh yang biasa saya makan di gudeg Jogja. Sekilas ada rasa gurih seperti putih telur. Bisa jadi ini adalah putih telur yang dikocok kemudian dimasak bersama santan kental dan garam.


Di tempat ini pula kami memesan Cabuk Rambak sebagai snack. Sebenarnya saya berharap bisa menemukan menu Brambang Asem tapi sepertinya makanan itu sudah semakin langka. Cabuk Rambak yang dulu pernah menjadi jajanan saya jaman masih sekolah pada hakekatnya dibuat dari gendar (calon kerupuk yang belum dijemur) yang diiris tipis kemudian disiran saos wijen dan dimakan dengan krupuk karak. Ada juga yang mengganti gendar dengan ketupat yang diris tipis. Keunikan makan cabuk rambak adalah cara makannya tidak menggunakan garpu atau sendok, melainkan memakai lidi yang ditusukkan pada salah satu irisan gendar/ketupat. Demi kepraktisan, pemakaian lidi sudah digantikan oleh tusuk gigi. Harganya sekarang sudah 4 ribu rupiah per porsi, masih cukup murah untuk ukuran jaman sekarang apalagi di daerah wisata kuliner.


Andai saja di Jogja ada tempat seperti ini tentu akan semakin menarik wisatawan untuk datang berkunjung. Sebenarnya ada, tapi biasanya hanya insidentil semisal di kampung Ketandan setelah hari raya Cap Go Meh atau di kampung Kauman selama bulan ramadhan. Banyak jenis makanan di Jogja yang sebenarnya jika dikemas dan lokasinya dikelola dengan baik akan bisa tumbuh menjadi icon wisata baru. Semoga harapan saya ini lekas terwujud sehingga kami tidak perlu jauh-jauh pergi ke Galabo saat kangen jajanan. Tapi buat saya, sungguh… Galabo memang ngangeni...